Powered By Blogger

Rabu, 04 Januari 2012

“ SENJA KELAMKU-”


Suasana pagi buta itu tenang , lembab membawa wangi udara segar. Ku hirup dalam-dalam menembus diafragma lalu ku hembuskan perlahan-lahan.
Pagi ini aku akan berjuang kembali untuk sepotong kehidupan bersama buah hatiku, yah perjuangan yang mungkin tak perlu diperhitungkan oleh sekolompok elite yang sudah PW dikursi jabatannya saat ini, aku pernah mendengar bahwa tugas mereka adalah untuk menyampaikan aspirasi rakyat kumal sepertiku tapi nyatanya hari ini aku belum merasakan atmosfer keadilan yang selalu mereka koar-koarkan. Toh, aku masih harus tetap merayap di tengah jalan kota yang pengap mengendarai mikrolet tua renta untuk  menjamin diriku, bahwa esok aku masih bisa berjalan di tanah tandus ini dengan sesuap nasi yang bukan dari beras berkualitas tentunya.
Namaku Beddu, aku biasa di panggil Daeng pete-pete karna memang diriku adalah seorang sopir kere yang mengais rejeki dengan mencari penumpang di sekitaran sentral makassar sampai ke daerah daya dan sudiang di kotaku. Aku adalah warga yang bermukim di daerah sudiang, disana aku hanya memiliki tiga barang berharga, rumah reot yang selalu memancarkan bau deritanya, mikrolet tua yang selalu menemaniku mencari setiap rejeki yang masih Tuhan yang Maha pemurah berikan kepadaku, dan yang paling berharga adalah anakku Ina, peninggalan dari istriku tercinta yang mati dihukum gantung di negeri nun jauh disana 5 tahun yang lalu saat ia juga berjuang untuk menghidupi keluarga dengan menjadi TKI. Aku selalu menyesali diriku saat kuingat istriku yang malang itu sampai-sampai ia juga harus ikut terseret kerasnya kehidupan karna menikahi lelaki miskin sepertiku.
“bapak, ini mi sabun ta’. Na bilang bede nenek sitti’ bayar mi besok banyak sekali mi utang ta’”
“iye nak, doakan bapak nah, supaya dapat banyak rejeki ini hari”
“iye pak, ibu guruku juga minta mi uang spp, 3 bulan mi bede ndag ku bayar  i’, bapak nah!!!”
“iye nak, ayo cuci mi cepat itu mobil nak!!”
Luka nyeri yang harus ku catat setiap hari adalah kabar bahwa utang yang ku punya telah menumpuk di warung sebelah rumah milik janda tua, warung nenek sitti’. Utangku sangat beragam  mulai dari utang bahan makanan, keperluan sekolah ina, sampai sabun pun aku harus mengutang padanya.
“bapak kenapa ki kah ndag pergi kemarin bawa mobil???” Pertanyaannya membuatku terhenyak
“anu nak, kemarin habis bensin jadi nda bisa ki pergi toh, bagaimana caranya jalan ini mobil. Itu mi nak cepat-cepat mi cuci supaya cepat bapak pergi, cepat dapat bensin, cepat juga cari uang.”
“iye pale pak”
Selain utang aku juga harus menebalkan buku catatan dukaku mengenai kenaikan BBM yang sempat membuatku berfikir, bahwa aku sampai bisa mati dibuatnya, selain kenaikannya yang seakan tak memperhitungkan kenyataan hidupku yang terlalu, iapun kini begitu langka entah dimana saja mereka semua melang-lang buana.
Setelah aku menyelesaikan pekerjaan mencuci pete-pete kunoku bersama Ina, aku segera berbenah dan berganti pakaian, aku tak perlu mandi persediaan air sudah tak cukup buatku, sekarang kan musim kemarau, kadang ku berfikir cuaca pun tak mendukungku untuk tetap bertahan tapi sudahlah aku sudah terlampau jauh mnghujat, Astaghfirullah Ya Rabb jangan jadikan aku hamba yang tak tahu terima kasih. Kali ini biar Ina saja yang mandi, ia kan ingin berangkat ke sekolah dan pastinya ia akan bercengkrama dengan cukup banyak orang jadi ia harus wangi, sedangkan aku kan tidak perlu  wangi,  yang penting juga tidak bau tentunya kasihan penumpangku kelak kalau aku bau, makanya aku cukup berganti pakaian saja yang bersih. Setelah berbenah  akupun segera melesat.
“doakan bapak nak, cepat ki mandi, berangkat ke sekolah. Belajar bae’-bae’ nah!!”
“iye pak, hati-hatiki”
“Assalamualikum..”
“Waalikumsalam”
Ina mencium tanganku lalu melambai mengantar perjalananku hari ini.
Tempat pertama yang ingin ku datangi tentunya pertamina terdekat untuk mengisi tangki pete-peteku yang hampir kering kerontang, aku tidak akan mengisinya sampai benar-benar penuh karna tentu saja uangku tak cukup, aku sampai harus mengutang sabun cuci lagi pagi ini demi mengisi tangkinya agar aku bisa jalan. Aku harus segera tiba disana secepat yang ku bisa, nanti takutnya aku kehabisan dan bensinku pun sudah habis sebelum sempat sampai disana . Peluhku mulai bercucuran walau matahari pagi belum nampak begitu jelas, aku hanya bisa bedoa dengan doa yang paling indah menurutku agar aku masih kebagian. Sekitar 15 menit perjalanan akhirnya aku tiba juga. Belum begitu ramai tampaknya, jadi aku tak harus mengantri terlalu lama.
“berapah daeng??”
“tiga puluh ribu mo saja”
“ohh iye”
“pagi-pagi sekali ki’ ini hari e’. saya saja masih mengantuk ka’, semanga’ nah ”
Pegawai pengisi BBM itu sepertinya ingi membuka dialog panjang
“heheh harus begitu, kalo tidak na ambil ayam rejeki ta’.”
“hahhha, iye paeng… ini sudah mi daeng”
“oh iyo nah, semangat ko’ jangan loyo masih pagi”
Sambil tersenyum lebar aku mencoba membagi semangat kepadanya, semangat dari lelaki separuh baya yang tak berdompet tebal tapi punya semangat tebal, karena aku pikir hanya itu yang bisa ku bagi dengan sesamaku. Aku bukan konglomerat yang mungkin tak perlu susah payah membagi senyum semangat di pagi buta seperti ini karena pikirku mereka masih tertidur dengan begitu pulasnya di kasur yang empuk dengan pendingin ruangan yang sejuk tanpa harus bangun tergopoh-gopoh untuk mengais rejeki yang tak tentu, selain itu mereka punya seonggok uang yang bisa dibagikan dengan gampangnya kepada manusia pemilik perut-perut kelaparan sepertiku.
“ok daeng”
“terima kasih nah…”
Setelah mengisi, semangatku semakin berkobar hari ini aku harus bekerja lebih keras dan dapat hasil lebih banyak, anakku menunggu kedatanganku bersama uang sppnya yang masih menggunung tak hanya itu warung nenek sitti’ pun tak kalah, menungguku dengan utang-utang bejibun yang masih menari-nari.
Ruteku seperti biasanya sudiang-makassar mall(sentral), makasar mall-sudiang hanya itu yang bisa ku jelajahi aku terus berdoa dengan hati yang teduh, ya Rabb berkahi hambaMu hari ini dengan kasih sayang wahai Dzat yang Maha pengasih.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, aku istirahat sejenak untuk melepas lelah dan menunaikan ibadah sholat ashar. Sholat adalah satu-satunya tempat yang selalu ku rindukan ketika kedaanku segawat sekarang ini, hanya disanalah aku merasa menang dari segala beban hidup yang selalu mengalahkanku, membuatku tersungkur sampai berdarah, disanalah aku merasa tenang, merasa memiliki, memiliki Rabb yang selalu mengusapku dengan lembut penuh kasih sayang dan hanya disana pulalah aku merasakan haru biru yang tak terkatakann ketika ku duduk bersimpuh dan sujud merendah.
Setelah kira-kira beristirahat 20 menit aku melanjutkan perjalananku karna aku belum dapat cukup banyak, aku hanya dapat cukup untuk mengisi bahan bakar saja  untuk ku pakai kembali mengililingi rute yang hampir-hampir membuatku bosan, selanjutnya belum cukup untuk melunasi semua beban yang harus ku bayar,  tapi aku harus tetap bersyukur dan berjuang dengan gigih. Aku mulai berjalan kembali, dari  sudiang tadi sampai sekitaran daya belum ada penumpang yang berhasil kudapat satupun.
Sekitar 15 menit berjalan , Alhamdullilah aku membathin ketika ada seorang ibu bersama anak gadisnya  menyetop pete-peteku. Tuhan memang Maha penyayang. Ku tancap gas ku lanjutkan perjalananku.
“sentral..sentral… bu kemana bu??? Sentral..sentral”
Aku berhenti sejenak mencari penumpang di depan salah satu toko swalayan, berharap ada ibu-ibu yang selasai berbelanja dan berminat naik pete-peteku.
“Alhamdulillah” aku kembali bersyukur di dalam hati, tiga penumpang sekaligus berhasil ku dapat.
Aku melesat dengan riang, setidaknya lumanyan untuk rute yang entah sudah keberapa kalinya, aku dapat penumpang yang lumayan walau belum seperdua perjalanan. Sekarang aku sudah berada di depan Sekolah polisi negeri di daerah Batua, ada lagi mahasiswi perempuan yang menyetopku. Aku kembali bergumam terima kasih Ya Allah. Pete-peteku kembali menderu nyaring dengan suara yang pontang-panting.
Setelah melewati daerah Panaikang aku sampai di Jl urip sumaharjo, jantungku seketika berdegup tak dapat ku atur serasa ingin terputus dan meledak. Ku lihat gempulan asap hitam yang lebat, aku memandang jauh, nampak jejeran benda hijau mirip pete-peteku berbaris tak berdaya, tanpa gerak.
“turunkan BBM, turunkan BBM” teriak seorang mahasiswa yang berdiri di depan menggunakan toak, suaranya nyaring memekakkan telinga.
“turunkan BBM, hidup mahasiswa, hidup rakyat” tambahnya lagi
“waduh… demo si mahasiswa e’ macet situ” kata seorang penumpangku dengan logat bugisnya
“ckkkkckckk ini mi di bilang mahasiswa, nah kayak tidak ada saja pendidikannya, nda ada pancasilanya, bikin macet saja, nda membela rakyat kalo begini ceritanya, menyusahkan ji kerjanya”
Aku hanya diam tertegun menyaksikan perhelatan akbar para kaum intelek menurut hematku, mahasiswa dan pemerintah beserta kebijakannya.
Hingga pukul 17.30 sore pete-peteku belum bisa bergerak sedikitpun semua penumpangku akhirnya turun dan berjalan kaki karena sudah tak tahan menunggu begitu lama. Aku masih duduk menangisi dukaku, tenang menyaksikan pertunjukan “pahlawan-pahlawan rakyat” katanya. Aku hanya bisa tertegun, menonton terlampau jelas betapa dengan gampangnya mereka memporak-porandakan hari perjuanganku, hari yang penuh peluh kegigihan untuk membayar semua kepahitan hidup.
Bingungku semakin meluap, sekarang siapa yang dibela siapa?. Kata manis pemerintah yang katanya ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat malah menggorok leher rakyatnya dengan kenaikan dan kelangkaan BBM, lalu mahasiswa? Dengan mulut madunya berkoar tanpa rasa malu, bahwa mereka pro rakyat kecil dengan tidak menyetujui kenaikan BBM, malah menghujamkan belati dengan hadiah bakar ban, demo, dan kemacetan luar biasa yang membuat sopir pete-pete sepertiku tak bisa lagi mengais rejeki sampai senja itu. Tak terasa buihku menetes tak tertahankan, bayang-bayang Ina anakku yang tak sabar menungguku di rumah dengan tagihan SSPnya membuatku ingin meludahi orator intelek busuk itu, dengan wajah tanpa dosa beraninya menghancurkan hidupku tanpa rasa bersalah sedikitpun. Berdiri dengan bangga, merasa diri bak pahlawan orang-orang tertindas tapi kasihan sekali ternyata mereka buta. Tahukah mereka pagi tadi aku punya harapan besar untuk hidup yang terkoyak tapi telah mereka gadai dengan senja kelam yang harus ku telan. Serasa ingin ku tampar dengan lantang ke telinga mereka, “sebenarnya siapa yang mereka perjuangkan?”.

Autm.touchy.. Makassar 4 januari 2012..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar