Powered By Blogger

Minggu, 24 April 2016

"Self Defence"

Kali ini saya tergelitik untuk menuliskan sebuah ungkapan asing dengan sebutan "self defence" dan ilustrasi gambar jari melingkar membentuk sebuah lubang lalu dengan mata sedikit terpejam (*jangan perhatikan Emotnya) dan ekspresi mencari sampai sekecil-kecilnya frame dibalik lubang.
 

Bahwasanya kita manusia terkadang terlalu jeli mengkritik sesama kita hingga kesalahan itu seumpama gunung yang sama sekali tidak bijak kita sikapi. Tentu menjadi wajar ketika kesalahan itu fatal dan berulang-ulang, bukankah justru, disanalah nasehat bermukim.
Tapi terkadang saking sibuknya kita menunjuk orang lain kita menjadi seolah lupa atau benar-benar lupa untuk menunjuk diri kita sendiri dengan nasehat itu, yang idealnya memang nasehat itu dihadiahkan terlebih dahulu kepada telinga kita, kepada diri kita sebelum ia sampai  ke telinga orang lain. Ya, namun begitulah tabiat cucu seorang Adam, hidup kadang terlalu naif jika tak menjadi bentukan kompetisi, pun perihal menasehati. Lubang mata kita seolah tumpul melihat kesalahan kita sendiri, akhirnya ketika nasehat itu datang kepada kita. Kita malah berontak, tidak mau terima, malah membenci, malah menjadi-jadi. Kurang lebih seperti itulah self defence diilustrasikan, sebagai upaya pertahanan diri. 


Ketika kemarin kita berbaju sederhana kita mengklaim saudara kita dengan baju yang bagus dengan sebutan sombong. Ketika besok baju kita yang bagus justru kita mencibir orang lain yang berbaju biasa saja, tak punya uang beli baju. ketika kemarin kita membenci para penyuka selfie karna alasan mereka terlalu riya' lalu kita mendeklarasikan diri sebagai "Hater Selfie", akhirnya pada kesempatan kita memiliki smartphone yang tidak kalah keren Kita tak menjadi sungkan, tak tahu lagi malu-malu berselfie ria, menjadi "Ratu selfie sejagad".
Ketika kemarin kita menghujat saudara-saudara kita yang "honey moon" di Bali dengan alasan  mubazzir, boros, sok kekinian. Dan pun ternyata ketika kita diberi kesempatan holiday ke lombok menghabiskan waktu beberapa lama, kita lalu jingkrak-jingkrak lupa diri. Terlalu kegirangan,lalu pulang dengat tabungan terkuras, terlena,eforia dunia dan tak berdaya menasehati diri sendiri, sekeras kita menasehati orang lain. 


Sebab "self defence" adalah teorema yang menjadikan kita longgar terhadap diri kita sendiri namun tanpa ampun terhadap orang lain, menjadikan lubang yang digunakan untuk melihat kekhilafan kita diukur dengan satuan milimeter, tapi kita menjadi buas ketika hendak  mengukur orang lain. Tak tanggung-tanggung dengan besaran per kilometer lalu dipersegikan atau sebutan matematikanya kilometer kuadrat, kilometer pangkat dua.
Luas sekali, terlalu besar ukurannya, jadilah kita mudah menghakimi orang lain sesuka hati, Seenak-enak isi kepala.


Maka berikanlah nasehat sebagai Hal yang baik dan pantas, bukan hanya tameng sebagai upaya mengamankan diri [self defence] atau ajang menjatuhkan orang lain. Niatkan dengan baik, sampaikan dengan baik, dengarkan dengan baik, lalu terima dengan baik.
 

Berbahagialah ketika kita masih dihadiahi oleh Pencipta, saudari-saudari yang senantiasa menghujani kita dengan nasehat,
Nasehat sebab mereka cinta,
Nasehat sebab mereka sayang akhirnya mereka peduli..
Berbahagialah karena hidup ini indah..
*********Nasehat khusus dan nasehat terkeras terutama bagi penulis Wallahualam..**********



Makassar,25 April 2016
Autum.n/A.n^^

Minggu, 03 April 2016

“Analogi seorang editor”



Hari ini saya belajar,lagi. Lagi tentang bagaimana memberi pemaknaan terbaik kepada hidup.
Yah, dengan menjadi seorang Editor. Meski amatiran, sungguh status ini menjadikan saya memiliki pekerjaan kedua, yaitu sebagai “Pencari ladang-ladang Hikmah”. Untuk banyak-banyak mengambil pelajaran lalu menerjemahkannya ke sudut pandang yang benar. Dengan mencoba memberi pemaknaan pada filosofi yang paling tepat,  mengantar saya harus bertransisi.

Biarlah saya curhat irit sejenak, semoga bisa menjadi ladang  pahala bagi pembaca yang berkenan menyimaknya sampai akhir.

Menjadi editor  itu adalah bekerja mengemas tulisan mentah  dengan proses editan. Dengan proses editing maka  diharapkan  tulisan itu menjadi  lebih apik dan hidup untuk diantar ke hadapan pembaca.
Mengedit itu adalah pekerjaan  menghapus, menambah kata yang kurang sebagai jembatan untuk sampai kedalam makna tulisan, memilihkan diksi yang benar dan tepat, bahkan sampai bagaimana menempatkan titik koma yang  pas. Secara sadar ataupun tidak  ternyata pekerjaan seperti  itulah yang  juga kita lakukan dalam kehidupan.
Di dunia ini tidak ada satu mahluk pun yang ditakdirkan hidup menjadi orang yang sempurna. Seiring dengan perjalaan dan proses yang melelahkan. Kita akan mendapati perjalanan hidup kita sebagai proses editing. Yang mungkin butuh terlalu banyak perbaikan, pengeditan. Misalnya saja berangkat dari prestasi kesalahan yang pernah kita torehkan. Darinya  kita akan belajar menghapus sesuatu yang keliru lalu menambahkannya  dengan sesuatu yang baik dan pantas. Setelahnya, kita memilih untuk menyimpannya dengan rapi didalam kotak bernama “Kenangan”  sebagai sesuatu yang  berharga. Yang untuk dibuka dan diungkit hanya ketika kita ingin mempersiapkan amunisi di masa depan. 

Bersungguh-sungguh menghapusnya lalu mengubahnya. Selanjutnya kita akan tampil sebagai Mahluk baru yang jauh lebih baik karena telah begitu tangguh untuk mengakui apa yang harus hilang dari diri kita dan apa yang harus banyak-banyak untuk dinput kedalam.  Maka jadilah kita pribadi yang  saat keluar dari masalah berhasil membawa kemenangan besar dengan banyak-banyak belajar.

Menjadi editor adalah tempat menemukan banyak kemampuan lalu mempertajamnya, melatih bersabar dan melatih rasa lapang saat meminta respon kritikan kepada orang yang telah bersedia meminta kita untuk mengedit tulisannya. Berani membuat pertanggung  jawaban atas apa yang telah kita ubah bukanlah perkara mudah. Membuat orang  lain lega  tanpa melupakan kepuasan diri mengeksplore sedalam-dalamnya.

Menjadi  seorang editor adalah menyeimbangkan isi kepala orang yang menyerahkan tulisannnya dan isi kepala yang kita punya. Walau menjadi penyeimbang bukanlah hal yang mudah. Namun ketika kita mampu menjadi penyeimbang yang baik, maka kita akan mampu dibentuk untuk menjadi pribadi  yang  jauh lebih bijak. Menjaga keseimbangan tulisan dari  orang yang mempercayakannya kepada kita adalah dengan menjaganya tetap alami sejauh apapun kita mampu mengeksplore kata. Menjaga kemurnian tulisan agar ia tetap khas sebagaimana milik orang lain. Tidak karena kita berusaha maksimal untuk pencapaian terbaik, malah menjadikan kita fanatis dan egois. Akhirnya terkadang kita lupa bahwa apa yang sedang kita proses adalah hal yang tidak perlu pemaksaan terlalu jauh, hanya  agar tulisan itu menjadi sempurna. Dengan alasan tampilan terbaik kita kadang melupakan bahwa kita hanya sebatas untuk memperbaiki bukan untuk mencederai.

Sungguh hari ini saya bersyukur. Betapa menjadi editor  itu membuat saya banyak-banyak belajar dari sebuah kritikan tanda sayang.
Membuat saya belajar bahwa setiap kesalahan ketika telah diupayakan untuk  diubah maka jangan pernah lagi mengungkitnya walau sebagai ajang memberi pelajaran. 

Menjadikan saya belajar bahwa setiap yang hidup, tidak ada satupun yang bebas nilai. Termasuk editor yang bisa saja kesalahannya mampu dilihat justru dari orang yang sedang ia  benahi tulisannya. Betapa pun posisi kita selalu banyak pelajaran yang bisa kita ambil walau dari orang yang mungkin menurut kita lebih muda,masih ingusan, masih pelajar, atau masih adik-adik. 

Menjadikan saya belajar bahwa yang  terbaik di dunia ini bukanlah yang memiliki kemampuan menghasilkan sesuatu tanpa cacat. Namun merakalah yang mampu memposisikan dirinya dengan bijak dalam merespon, dengan paham dimana dia harus berdiri. Rela menahan setengah kemampuannya demi menyeimbangi orang lain. Menahan untuk mengeluarkan segala jurus terbaiknnya untuk menyediakan tempat agar orang lain bisa belajar. Belajar mengatur langkahnya untuk tidak terlalu kencang berlari agar ia mampu memacu orang lain suatu saat nanti bisa selaras dengan dirinya. 
Belajar untuk  banyak-banyak menghargai orang lain yang sedang berproses. Bahwa, betapa setiap proses butuh tempat untuk  didukung dan diapresiasi bukan untuk dijustifikasi.
Sungguh saya beruntung  dengan berbagai kejadian yang begitu indah ritmenya diatur oleh Allah. Pada setiap episodenya dengan begitu mengagumkan.

Dan sungguh hanya ketika kita ingin belajarlah, maka kita bisa menjadi berharga, bukan samesekali dengan standar bahwa  kita mampu menyelesaikan semua hal dengan sempurna..
Terimah kasih tim..
Bahagia bertumbuh bersama kalian..

Sungguh hari ini, saya pulang dengan membawa sekeranjang oleh-oleh yang manis.
Oleh-oleh itu bernama “pelajaran”  yang dibungkus rapi,berbalut kasih sayang yang terjalin  karena Allah.
Terima kasih sekali lagi telah bersedia,
 Mencintai saya dengan cara yang indah
I love you all, tim.
^A.n
Makassar 3-April-2016
“Dari sebuah kontemplasi hasil rapat lari-lari kita, ba’da aksi”