Hari ini terlalu banyak hal yang utopi bertebar dimana-mana,
sampai-sampai bidang yang cukup sakral di bangsa anda juga digerogoti virus
utopi. Yahh “pendidikan ideal beserta visi dan misi pencerdasannya".
Cerdas menurut pendidikan bangsa anda hari ini hanya
berbasis dari 3 angka yang di tengahnya diselipkan tanda koma . yah tak lain
dan tak bukan “indeks prestasi komulatif”.
Padahal terminologi pendidikan tidak hanya diukur dari hasil angka-angka yang tertulis di
lembaran kertas, bukan?. Sampai-sampai pola sikap kadang tak lagi diperhitungkan
(kepribadian.red)
“biarmi nakal sedikit tapi bagus jie nilainya tawwa”
“bobrok sedikit ada pacarnya nda papa jie pintar ji dikelas”. Saking utopinya ukuran / standar “kebobrokan” menurut kacamata pendidikan anda hari ini pun menjadi tak jelas.
“biarmi nakal sedikit tapi bagus jie nilainya tawwa”
“bobrok sedikit ada pacarnya nda papa jie pintar ji dikelas”. Saking utopinya ukuran / standar “kebobrokan” menurut kacamata pendidikan anda hari ini pun menjadi tak jelas.
Pendidikan anda hari
ini adalah anak cucu “sekularisasi”. Bobrok menurut standar “pendidikan “ yang notabenenya berisi
warga intelektual menjadi begitu ambigu. Bobrok, tidak sopan, kadang hanya
disematkan hanya karena permasalahan “tidak
cakap / lugas berbicara depan dosen misalnya, liar menatap dan tidak menyapa
dosen contohnya, ataukah tidak sopan
berpakaian”, yang ukuran pakaian sopan pun menjadi abu-abu. Lagi-lagi ukuran
manusia selalu gak jelas kemana-mana. Buah pendidikan sekuler.
Mengapa ukuran “kebobrokan” tidak disematkan pada mereka yng
IPKnya tinggi namun tetap memadu kasih dijalan yang sesat alias pacaran tingkat
tinggi, tidak disematkan pada mereka yang walau memenuhi standar SKS yang
dilulusi untuk KKN tapi tidak menutup aurat secara sempurna misalnya. Padahal hal
itu dipermasalahkan oleh Allah. Bukankah seharusnya permasalahan pacaran, tidak
menutup aurat, atau curang dalam belajar adalah hal yang mestinya
dipermasalahkan, dipikirkan untuk diselesaikan dengan solusi yang tepat. Tidak
ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa pendidikan kita “anak kandung asli
sekularisme” (pemisahan agama dari kehidupan, dari ruang pendidikan). Lalu
standar yang digunakan lagi-lagi hasil rekapitulasi pikiran manusia-manusia
yang pongah bukan menurut standar syariat HALAL atau HARAM menurut Khalik. Bagaimana
tidak, hanya karena alasan saling mengsuport dalam belajar pacaran pun
diperbolehkan. Padahal mereka, dia, dan kita semua merasa resah ketika
meningkatnya kasus pelajar hamil diluar nikah. Kita nelangsa ketika menyaksikan
dilayar kaca tawuran pelajar yang sampai menerbangkan nyawa hanya karena
permasalahan perasaan, sia-sia. Sia-sia hidup matipun sia-sia. Kita dibuat
pusing ketika hasil survey mengatakan
negara kita dimukimi 51% remaja yang sudah tidak perawan. Lalu potret aborsi diumbar
dimana-mana. Kita hanya bisa menganga terkaget keheranan.Lalu sebenarnya apa
yang kita mau? Secara tidak langsung kita menciptakan ironi untuk diri kita
sendiri dengan standar yang terlalu rapuh menurut ukuran kebanyakan. Padahal sadar atau tidak sadar
kita disergap, dikepung dampak dari
aturan main yang dengan begitu “soknya” kita ciptakan sendiri. Akhirnya potret pendidikan
kita hanya mampu menghasilkan “generasi pembebek”.
Kemana kita selama ini, tidak tahukah kita?. Baginda
Rasulullah SAW tidak perlu menjadi sarjana, tidak perlu punya IPK bagus tapi
beliau berhasil membawa “arab yang super jahiliyyah mengukir peradaban emas”, yang
paham moral dan paham ilmu. Beliau tidak perlu memenuhi standar intelektual menurut
standar pendidikan hari ini lalu beliau mampu menjadi “orang nomor 1 paling
berpengaruh didunia”.
Bukan saya ingin mengatakan pendidikan itu tidak penting, justru
karena begitu pentingnya hari ini maka pendidikan mutlak harus baik. Ubah standar
pendidikan tidak muluk-muluk berorientasi hanya pada nilai / angka yang terlalu
semu. Karena bukan hanya angka-angka itu yang akan membuat bangsa ini menjadi
bangsa yang besar, bukan?. Tidak hanya
perbaikan dari bawah yang diatas juga
harus “melek” bahwa anda adalah jembatan
pendidikan demi kemajuan bangsa. Ibarat bangunan, untuk merekontruksinya
menjadi lebih baik maka seyogyanya dimulai dari bawah sampai atas dan seimbang
dari atas sampai bawahnya kembali. Maka standar pendidikan terlalu naif jika
sampai ambigu.
Ngapain pakai standar yang tidak jelas, padahal kita punya
standar yang sudah sangat jelas yaitu “syariat”.
Dan syariat inilah yang dipunya Rasulullah dan yang kita juga punya. Berisi
kekuatan mutlak untuk mengatur. Syariat yang terpampang nyata dalam kitab
paling mulia sepanjang sejarah peradaban
manusia “Al Qur’an” membersamai perkatan manusia paling mulia “As sunah”.
Hanya ada 2 pilihan “pendidikan syariat bermartabat” atukah “pendidikan sekuler
yang pasti dilaknat”. Pilihan ada ditangan kita, ataukah selamanya kita hanya
ingin menyaksikan bahwa “pendidikan sebagai pencetak generasi cemerlang” hanya akan menjadi ILUSI SEMATA?????????
Note: bukan hanya untuk indonesia tapi seluruh ummat, karena
indonesia terlalu sempit untuk disebut bangsa bagi saya “pendidikan
bermartabat, pencetak generasi cemerlang untuk bangsa kaum muslim seluruh dunia”