Powered By Blogger

Kamis, 23 Mei 2013

“ILUSI PENDIDIKAN BANGSA ANDA HARI INI”


Hari ini terlalu banyak hal yang utopi bertebar dimana-mana, sampai-sampai bidang yang cukup sakral di bangsa anda juga digerogoti virus utopi. Yahh “pendidikan ideal beserta visi dan misi pencerdasannya".
Cerdas menurut pendidikan bangsa anda hari ini hanya berbasis dari 3 angka yang di tengahnya diselipkan tanda koma . yah tak lain dan tak bukan “indeks prestasi komulatif”.  Padahal terminologi pendidikan tidak hanya diukur  dari hasil angka-angka yang tertulis di lembaran kertas, bukan?. Sampai-sampai  pola sikap kadang tak lagi diperhitungkan (kepribadian.red)
“biarmi nakal sedikit tapi bagus jie nilainya tawwa”
“bobrok sedikit ada pacarnya  nda papa jie pintar ji dikelas”
. Saking utopinya ukuran / standar “kebobrokan” menurut kacamata pendidikan anda hari ini pun menjadi tak jelas.
Pendidikan anda  hari ini adalah anak cucu “sekularisasi”. Bobrok menurut  standar “pendidikan “ yang notabenenya berisi warga intelektual menjadi begitu ambigu. Bobrok, tidak sopan, kadang hanya disematkan hanya karena permasalahan “tidak cakap / lugas berbicara depan dosen misalnya, liar menatap dan tidak menyapa dosen  contohnya, ataukah tidak sopan berpakaian”, yang ukuran pakaian sopan pun menjadi abu-abu. Lagi-lagi ukuran manusia selalu gak jelas kemana-mana. Buah pendidikan sekuler.
Mengapa ukuran “kebobrokan” tidak disematkan pada mereka yng IPKnya tinggi namun tetap memadu kasih dijalan yang sesat alias pacaran tingkat tinggi, tidak disematkan pada mereka yang walau memenuhi standar SKS yang dilulusi untuk KKN tapi tidak menutup aurat secara sempurna misalnya. Padahal hal itu dipermasalahkan oleh Allah. Bukankah seharusnya permasalahan pacaran, tidak menutup aurat, atau curang dalam belajar adalah hal yang mestinya dipermasalahkan, dipikirkan untuk diselesaikan dengan solusi yang tepat. Tidak ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa pendidikan kita “anak kandung asli sekularisme” (pemisahan agama dari kehidupan, dari ruang pendidikan). Lalu standar yang digunakan lagi-lagi hasil rekapitulasi pikiran manusia-manusia yang pongah bukan menurut standar syariat HALAL atau HARAM menurut Khalik. Bagaimana tidak, hanya karena alasan saling mengsuport dalam belajar pacaran pun diperbolehkan. Padahal mereka, dia, dan kita semua merasa resah ketika meningkatnya kasus pelajar hamil diluar nikah. Kita nelangsa ketika menyaksikan dilayar kaca tawuran pelajar yang sampai menerbangkan nyawa hanya karena permasalahan perasaan, sia-sia. Sia-sia hidup matipun sia-sia. Kita dibuat pusing ketika hasil survey  mengatakan negara kita dimukimi 51% remaja yang sudah tidak perawan. Lalu potret aborsi diumbar dimana-mana. Kita hanya bisa menganga terkaget keheranan.Lalu sebenarnya apa yang kita mau? Secara tidak langsung kita menciptakan ironi untuk diri kita sendiri dengan standar yang terlalu rapuh menurut ukuran  kebanyakan. Padahal sadar atau tidak sadar kita disergap, dikepung  dampak dari aturan main yang dengan begitu “soknya” kita ciptakan sendiri. Akhirnya potret pendidikan kita hanya mampu menghasilkan “generasi pembebek”.
Kemana kita selama ini, tidak tahukah kita?. Baginda Rasulullah SAW tidak perlu menjadi sarjana, tidak perlu punya IPK bagus tapi beliau berhasil membawa “arab yang super jahiliyyah mengukir peradaban emas”, yang paham moral dan paham ilmu. Beliau tidak perlu memenuhi standar intelektual menurut standar pendidikan hari ini lalu beliau mampu menjadi “orang nomor 1 paling berpengaruh didunia”.
Bukan saya ingin mengatakan pendidikan itu tidak penting, justru karena begitu pentingnya hari ini maka pendidikan mutlak harus baik. Ubah standar pendidikan tidak muluk-muluk berorientasi hanya pada nilai / angka yang terlalu semu. Karena bukan hanya angka-angka itu yang akan membuat bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bukan?.  Tidak hanya perbaikan dari bawah  yang diatas juga harus “melek”  bahwa anda adalah jembatan pendidikan demi kemajuan bangsa. Ibarat bangunan, untuk merekontruksinya menjadi lebih baik maka seyogyanya dimulai dari bawah sampai atas dan seimbang dari atas sampai bawahnya kembali. Maka standar pendidikan terlalu naif jika sampai ambigu.
Ngapain pakai standar yang tidak jelas, padahal kita punya standar yang sudah sangat  jelas yaitu “syariat”. Dan syariat inilah yang dipunya Rasulullah dan yang kita juga punya. Berisi kekuatan mutlak untuk mengatur. Syariat yang terpampang nyata dalam kitab paling mulia sepanjang  sejarah peradaban manusia “Al Qur’an”  membersamai  perkatan manusia paling mulia “As sunah”. Hanya ada 2 pilihan “pendidikan syariat bermartabat” atukah “pendidikan sekuler yang pasti dilaknat”. Pilihan ada ditangan kita, ataukah selamanya kita hanya ingin menyaksikan bahwa “pendidikan sebagai pencetak generasi cemerlang”  hanya akan menjadi ILUSI SEMATA?????????

Note: bukan hanya untuk indonesia tapi seluruh ummat, karena indonesia terlalu sempit untuk disebut bangsa bagi saya “pendidikan bermartabat, pencetak generasi cemerlang untuk bangsa kaum muslim seluruh dunia”